Perpisahan

Jika aku adalah mereka, aku akan melakukannya lebih baik.

Rasanya ingin sekali menjerit. Ataupun menangis dengan ekspresi wajah yang sangat sedih sekali, dengan mata sembab memerah dan hidung tersumbat yang penuh dengan cairan pilu. Rasanya ingin sekali kehilangan kontrol akan diriku, sekehilangan itu hingga dapat sesenggukan di pojok ruangan tanpa malu. Rasanya ingin sekali marah, entah kenapa, hanya mungkin itu sudah tersimpan lama dan tidak dimuntahkan saja.

Perpisahan selalu membuat segala sesuatunya menjadi lebih duka dari hari-hari kelam yang biasanya. Entah itu perceraian, cinta yang tak berbalas, atau cinta yang kandas. Berbicara soal cinta begitu abstrak, seolah kamu tahu segalanya yang kamu rasakan, padahal cinta merupakan zona abu-abu yang tidak jelas rupanya. Intinya, perpisahan itu hal yang buruk. Seindah apapun bentuknya.

Pagi ini, aku terbangun pagi sekali. Burung perkutut mulai terbang di atas rumah, tidak bersuara, yang kudengar hanya lalu lalang kendaraan di jalanan. Matahari menyapa begitu indah, menyorotkan cahaya pada bumi dan tekstur-tekstur bangunannya. Menyentuh beberapa tanaman di balkon, bayangannya terpapar di tembok putih sehingga terlihat begitu cantik.

Aku kira aku sedang mendapatkan jackpot kemarin. Ketika kamu tiba-tiba datang dan tidak pernah pergi. Entahlah, mungkin kamu hanya sedang mengisi waktu luang saja. Bisa saja kamu tiba-tiba pergi ketika deadline pekerjaan mengejarmu tidak karuan. Aku rasa aku memiliki kecemasanku sendiri tentang orang-orang yang pergi dengan tiba-tiba.

Kita berbicara seakan akan terus menerus bertemu besok, lusa, dan seterusnya. Beradu cerita seakan akan terus begini selamanya. Entahlah, berbicara denganmu terasa begitu mudah. Aku bisa menghabisnya berjam-jam bahkan seharian dan tidak ingin kamu pulang. Banyak hal yang dapat dibahas, terlalu banyak kata yang meluap di kepala.

Tentang bagaimana jalannya dunia dengan para penguasa, pengetahuan baru, hal-hal penting atau bahkan yang tidak masuk akal sekalipun, mimpi-mimpi yang tertunda, masa lalu, dan masa depan. Aku ingin merangkai aksara lebih banyak lagi. Tetapi, Tuhan meminta aku untuk berhenti.

Malam itu, tiba-tiba pipiku basah. 
Aku pun tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri percakapan panjang itu.

Malam itu, pipiku basah mengingat tidak akan ada kita di lembar-lembar hari esok yang sudah terbayang kemarin.

Hidup itu lucu sekali.
Aku merasa Tuhan menamparku berkali-kali. Haruskah aku berhenti atau mungkin berlari? Atau haruskah aku menutup mata saja?

Comments

Popular Posts